LELAKI
berperawakan tinggi itu wajahnya memancarkan semburat cahaya, begitu kemenangan
datang. Ubullah, salah satu wilayah jajahan yang dikuasai rezim Persi, dapat
ditaklukkan pasukan Muslim.”Allahu akbar, shadaqa wa’dah (Allah Mahabesar, yang
menepati janji-Nya),” seru dia dihadapan sisa-sisa pasukan Muslim yang ia
pimpin.
Utbah bin
Ghazwan, lelaki tersebut, tentu saja tidak segera meninggalkan daerah itu. Ia
langsung menunjuk orang-orang yang tepat untuk membangun dan mengembangkan
daerah itu menuju kemandirian. Masjid menjadi bangunan pertama dan utama yang
ia bangun.
Setelah
masjid beserta infrastruktur pemerintahan di kota yang disebut Basrah itu
terbentuk, Utbah menulis surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Isinya,
ia meminta pada Khalifah agar dirinya kembali ke kota Madinah untuk meneruskan
tugas-tugas jihad bersama sang Khalifah Umar.
Akan
tetapi, permintaan itu tidak dikabulkan oleh Amirul Mukminin. Umar
memerintahkan Utbah tetap tinggal dan memimpin penduduk Basrah agar tercipta
masyarakat yang hidup di bawah naungan Al-Quran dan As-Sunnah.
Akan
tetapi, permintaan itu tidak dikabulkan oleh Amirul Mukminin. Umar
memerintahkan Utbah tetap tinggal dan memimpin penduduk Basrah agar tercipta
masyarakat yang hidup di bawah naungan Al-Quran dan As-Sunnah.
Mendengar
argumen Amirul Mukminin yang kuat, Utbah memutuskan untuk mengikuti
perintahnya, seraya berdoa memohon kekuatan menghadapi persoalan pada Rabbnya.
Selama beberapa kurun dia terjun langsung bersama pasukannya membina, mendidik,
dan mendakwahkan syariat dan nilai-nilai Islam kaffah.
Salah
satu taushiah yang kerap dituturkan Utbah pada warga Basrah adalah soal
pentingnya hidup zuhud (sederhana). Karena ia bicara dengan keteladanan maka
masyarakat dengan cepat menerima dan mempraktikannya. Ia dikenal luas sebagai
orang yang tidak hanya pandai bicara tapi juga isiqomah dalam perbuatannya.
Salah
satu taushiah yang kerap dituturkan Utbah pada warga Basrah adalah soal
pentingnya hidup zuhud (sederhana). Karena ia bicara dengan keteladanan maka
masyarakat dengan cepat menerima dan mempraktikannya. Ia dikenal luas sebagai
orang yang tidak hanya pandai bicara tapi juga isiqomah dalam perbuatannya.
Menghadapi
kelompok orang yang belum menerima gerakan hidup zuhud itu, Utbah dengan tegas
mengingatkan manfaatnya serta contoh dari kehidupan Rasulullah SAW. “Demi
Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai salah seorang kelompok tujuh, yang tak punya makanan
kecuali daun-daun kayu, sehingga bagian mulut kami pecah-pecah dan luka-luka.
Di suatu hari aku beroleh rizki sehelai baju burdah, lalu kubelah dua, yang
sebelah kuberikan kepada Sa’ad bin Malik dan sebelah lagi kupakai untuk
diriku…!
Bukannya
kelompok orang kaya itu menerima nasihatnya, ada segelintir dari mereka yang
berupaya keras mempengaruhi Utbah. Mereka membanding-bandingkan soal kewajaran
hidup sebagai seorang penguasa yang memiliki “kekuatan” di tangannya. Mendengar
kisah-kisah seperti itu, Utbah hanya dapat bersabar dan menahan amarah, seraya
berkata, “Aku berlindung diri kepada Allah dari sanjungan orang terhadap diriku
karena kemewahan dunia, tetapi kecil pada sisi Allah!”
Begitulah,
setiap kali mendengar perbincangan tentang dunia dan kemewahan, Utbah tampak
takut. Ia takut terhadap dunia yang diyakininya dapat merusak agamanya dan umat
secara luas.
Entahlah,
apa yang membuat kelompok pembesar di Basrah berhati keras. Nasihat yang
berulang kali dilontarkan tak begitu digubris. Suatu hari, karena mereka tidak
menerima masukan Utbah sebagai pemimpin mereka, Utbah pun berkeras, “Besok
luasa kalian akan lihat pimpinan pemerintahan dipegang orang lain menggantikan
aku.”
Beberapa
saat setelah peristiwa itu, datanglah musim haji. Utbah tak menyia-nyiakan
kesempatan untuk mengadukan masalah yang dihadapinya pada sang Khaliq. Ia
mendelegasikan pekerjaan sehari-hari pemerintahan pada salah seorang karibnya.
Di
Tanah Suci Utbah menyempurnakan ibadah haji dengan penuh harap dan takut. Air
matanya ditumpahkan demi kecintaan pada Rabbnya. Ia pun tak menyia-nyiakan
waktu untuk menyampaikan maksud dan keinginannya pada Amirul Mukminin. Ia
menemuinya di Madinah.
Setelah
diterima Umar, Utbah mengungkapkan isi hatinya bahwa ia sangat ingin
mengundurkan diri dari arena kekuasaan. Ia ingin menjadi rakyat biasa yang
senantiasa beribadah dan siap berjihad jika datang perintah.
Keinginannya
kali ini pun tak dikabulkan Khalifah Umar. Ia, sebagaimana biasa diungkapkan
dalam menghadapi kasus demikian, berkata pada Utbah, “Apakah kalian hendak
menaruh amanat di atas pundakku? Kemudian kalian tinggalkan aku memikulnya
seorang diri? Tidak! Demi Allah tidak kuizinkan selama-lamanya…”
Pernyataan
itu, sekali lagi, membuat Utbah tak dapat berargumen lagi. Ia pun bersiap-siap
kembali ke Basrah, wilayah binaannya. Sebelum naik kendaraan ia menghela nafas
sesaat. Badannya dihadapkan ke arah kiblat.
Sambil
mengangkat kedua telapak tangannya ke langit ia memohon supaya tidak
dikembalikan ke Basrah dan tidak pula memimpin di sana. Di benaknya masih
tertanam perilaku sekelompok pembesar yang tak bisa menerima ajakan hidup
zuhud, wara’, dan menegakkan keadilan. Itu mengakibatkan penduduk lain
terpengaruh dengan kelompok tersebut.
Dengan
sisa-sisa tenaganya ia berangkat ke Basrah untuk memenuhi tugas Khalifah.
Takdir Allah menentukan seorang Utbah harus wafat di tengah perjalanan antara
Madinah dan Basrah. Kesyahidannya membawa jalan baginya tetap istiqamah pada
hidup zuhud. Tanpa gelar dan jabatan.
0 komentar: